BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai
peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan
hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya
juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum
yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah
penting.
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa
dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan
oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-aturan yang
mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar
utama yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an
dan Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka
dibutuhkan ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas
dan ijma’.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian ta’arudl al-adillah?
b. Bagaimanakah cara penyelesaian ta’arudl al-adillah
menurut Syafi’iyah?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ta’arud al-Adillah
Secara etimologi ta’arudh adalah pertentangan.
Sedangkan al-adillah adalah jamak dari kata dalil yang
berarti alasan, argumen dan dalil. Persoalan ta’arudl al-adillah dibahas
para ulama dalam ilmu ushul fiqih ketika terjadinya pertentangan secara zhahir
antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan
oleh para ulama ushul fiqih di antaranya:
a. Imam Al-Syaukani mendefinisikannya
dengan suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan,
sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.
c. Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih
kontemporer dari Mesir) mendefinisikannya dengan terjadinya pertentangan hukum
yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua
dalil tersebut berada dalam satu derajat. Yang dimaksud dengan satu derajat
adalah antara ayat dengan ayat atau antara sunnah dengan sunnah.
Contoh pertentangan dalam ayat Al-Qur'an adalah seperti
ketentuan tentang 'iddah wanita yang kematian suami. Firman Allah
dalam surat al-Baqarah, 2: 234, menyatakan bahwa wanita-wanita
yang kematian suami 'iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan
antara wanita itu hamil atau tidak. Secara umum Allah menyatakan bahwa, apabila
seorang wanita yang kematian suami, maka 'iddahnya selama 4 bulan
sepuluh hari. Dalam surat Al-Thalaq, 65: 4, Allah menyatakan
bahwa wanita yang hamil 'iddahnya sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga
tidak membedakan antara cerai hidup (talak) atau cerai mati (kematian suami).
Secara umum ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya,
baik cerai hidup maupun cerai mati, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan
demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut bagi wanita hamil
yang kematian suami.
Contoh lain dari hadits Rasulullah SAW adalah dalam
masalah riba. Dalam sebuah sabda Rasulullah SAW. dinyatakan bahwa:
لاَرَيْباً
إِلاَّ فِى النَّسِيْئَةِ
“Tidak ada riba kecuali riba nasi'ah (riba yang muncul dari
utang piutang).” HR.Bukhari
dan Muslim.
Hadits ini meniadakan bentuk riba selain riba
nasi'ah, yaitu riba yang berawal dari pinjam meminjam uang. Dengan
demikian, riba al-fadl (riba yang muncul akibat suatu
transaksi, baik jual beli dan transaksi lainnya), tidaklah haram. Akan tetapi,
dalam hadits lain Rasulullah saw, menyatakan:
لاَتَبِيْعُ
الْبُرَّ بِالْبُرِّ إِلاَّ مَثَلاً بِمَثَلٍ
“Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang
sama.. HR.Bukhari,
Muslim dan Ahmad ibn Hanbal)
Hadits ini mengandung hukum bahwa riba al-fadl diharamkan.
Antara
kedua hadits tersebut terkandung pertentangan hukum dalam
masalah riba
al-fadl. Hadits pertama
membolehkan, dan hadits kedua mengharamkan.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau
hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman,
analisis, dan kekuatan logikanya; bukan pertentangan aktual, karena tidak
mungkin terjadi Allah atau Rasul-Nya menurunkan aturan-aturan yang saling
bertentangan. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Syathibi, pertentangan itu
bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang qath`i(pasti benar)
dan dalil yang zhanni (relatif benar), selama kedua dalil itu
dalam satu derajat. Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang
berbeda, seperti pertentangan antara dali yang qath'i dengan
yang zhanni, maka yang diambil adlah dalil yang qath'i,atau
apabila yang bertentangan itu ayat Al-Qur'an dengan hadits ahad (hadits
yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang lebih yang tidak sampai ke
tingkatmutawatir), maka dalil yang diambil adalah Al-Qur'an,
karena dari segi periwayatannya ayat-ayat al-Qur'an bersifat qath'i, sedangkan
hadits ahad bersifat zhanni.
Di samping itu, menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan tidak
mungkin muncul dari dalil yang bersifat fi'liyyah (perbuatan),
seperti dalil yang menunjukkan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada
lagi dalil lain yang menyatakan bahwa pada hari itu ia juga berbuka.
Kata Adillah merupakan jamak dari dalil. Sedang
maksudnya adalah “Apa saja yang memungkinkan untuk tercapainya kebenaran nalar
dari apa yang dicari.” (Abdul Hamid Hakim, 1983: 4). Dengan demikian, ta’arudl al-adillah adalah
pertentangan dua dalil atau lebih dalam satu masalah di mana pertentangan itu
satu sama lainnya tidak bersesuaian hukumnya. Lebih lanjut Ali Hasballah
menyebutkan ketentuan-ketentuan pada ta’arudl, yaitu:
1. Adanya dua
dalil atau lebih
2. Dalil-dalil
itu sama derajatnya
3. Mengandung
ketentuan hukum yang berbeda
4. Berkenaan
dengan masalah yang sama
5. Menghendaki
hukum yang sama dalam satu waktu. (Tim Depag RI, 1989: 169).
2. Cara Penyelesaian Ta’arudl
Al-Adillah
Apabila dhahir (formal)-nya dua nash yang
bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan
dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar di antara cara-cara
mengumpulkan dan mengkompromikan dua nash yang kontradiksi. Jika tidak mungkin,
wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah satunya dengan cara
diantara cara-cara tarjih. Jika ini dan itu tidak mungkin, dan diketahui
sejarah datangnya, maka ditangguhkan dua nash itu.
Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil
yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah
sebagai berikut:“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik
daripada meninggalkan keduanya“.
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil
yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
1. Mengamalkan dua
dalil yang kontradiksi.
2. Mengamalkan satu
di antara dua dalil yang kontradiksi.
3. Meninggalkan dua
dalil yang kontradiksi.
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai
berikut:
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (al-Jam’u wa
al-Taufiq), dapat ditempuh dengan cara:
a. Jam’u wa Taufiq (kompromi).
Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan
berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil
tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
b. Takhsis, yaitu jika dua dalil yang
secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun
satu di antara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka
dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus.
Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi
dengan ketentuan yang khusus.
Ø Mengamalkan satu dalil di antara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka
kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu
dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh
dengan cara:
1. Nasakh. Maksudnya apabila
dapat diketahui secara pasti bahwa satu di antara dua dalil yang kontradiksi
itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu
lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan
berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya
dinyatakan tidak berlaku lagi.
2. Tarjih. Maksudnya adalah apabila
di antara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang
belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan
dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan
bahwa salah satu di antaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah
dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain
ditinggalkan.
3. Takhyir. Maksudnya bila dua dalil
yang berbenturan tidak dapat ditempuh secaranasakh dan tarjih, namun
kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh
dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan,
sedangkan yang lain tidak diamalkan.
Ø Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak
mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga,
yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua
dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
1. Tawaquf (menangguhkan),
menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya
petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu di antara keduanya.
2. Tasaquth (saling berguguran),
meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
Ø Cara Penyelesaian Ta’arudl Al-Adillah Menurut Syafi'iyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama
Syafi'iyyahadalah sebagai berikut:
a. Jam'u wa
al-Taufiq
Ulama Syafi'iyyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus
ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut;
sekalipun dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih yang
dikemukakan Hanafiyyah di atas yaitu "mengamalkan kedua dalil itu lebih
baik daripada meninggalkan salah satu diantaranya." Mengamalkan kedua
dalil; sekalipun dari satu segi, menurut mereka ada tiga cara, yaitu:
1) Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa
dibagi, maka dilakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya. Apabila, dua orang
saling menyatakan bahwa rumah "A" adalah miliknya maka kedua pernyataan
itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan, karena pemilikan terhadap
sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan tetapi, karena barang yang dipersengketakan
adalah barang yang bisa dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua
rumah tersebut.
2) Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang
berbilang, seperti sabda Rasulullah SAW yang menyatakan: “Tidak
(dinamakan) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid.” (H.R. Abu
Daud dan Ahmad ibn Hanbal). Dalam hadits ini ada kata "tidak" yang
dalam ushul fiqih mempunyai pengertian banyak, yaitu bisa berarti "tidak
sah," bisa berarti "tidak sempurna" dan bisa berarti "tidak
utama." Oleh sebab itu, seorang mujtahid boleh memilih salah satu
pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.
3) Apabila hukum tersebut bersifat umum yang
mengandung beberapa hukum, seperti kasus 'iddah bagi wanita hamil di
atas, atau kasus persaksian yang terdapat dalam hadits di atas. Surat al-Baqarab, 2:
234 bersifat umum dan surat al-Thalaq, 65: 4 bersifat
khusus, maka dari satu sisi 'iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan
kandungan surat al-Thalaq, 65: 4. Ulama Hanafiyyah menempuh
cara ini dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.
b. Tarjih
Apabila pengkompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan,
maka seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil
yang mendukungnya. Katatarjih yang dikemukakan oleh para ahli
ushul fiqih bisa ditempuh dengan berbagai cara. Umpamanya, dengan mentarjih dalil
yang lebih banyak diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sedikit, bisa
juga melalui pen-tarjih-an sanad (para penutur hadits), bisa melalui pen-tarjih-an
dari sisi matan (lafal hadits), atau ditarjih berdasarkan indikasi
lain di luar nash.
c. Naskh
Apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan,
maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang
dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalil yang
pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian
inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Rasulullah saw.:
كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فُزُوْرُوْهَا (رواه مسلم)
“Adalah saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang
ziarahilah.”(HR. Muslim). Dalam
hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir.
Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah
dibolehkan menziarahi kubur, karena 'illat (motivasi) larangan
dilihat Nabi SAW tidak ada lagi.
d. Tasaqut al-Dalilain
Apabila cara ketiga, yaitu naskh pun tidak bisa ditempuh, maka
seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil
yang kualitasnya lebih rendah dari
kedua dalil yang bertentangan tersebut. Menurut ulama
Syafi'iyyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam
menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian yang telah dipaparkan dalam pembahasan di
atas dapat ditarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan,
yaitu: Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan
antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan
kandungan dalil yang lain yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan
hukum yang ditunjuk oleh dalil yang lainnya.
Metode Syafi’iyyah dalam menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah, yaitu
secara dengan empat langkah yaitu al-Jamu wa al-Taufiq, tarjih,
naskh dan tasaqut al-Dalilain. Metode Syafi’iyyah ini juga
digunakan oleh ulama Malikiyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaerul
Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia,
2001
H.Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003
Muchlis
Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2002
Nasrun
Haroen, Ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Rachmat
Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 183
H.Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003) h. 253
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 185
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 77
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 190
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
hal.229