BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, pelaksanaan hukum
Islam diwakili oleh beberapa institusi. Majlis Ulama Indonesia (MUI) lebih
dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang berusaha menyelesaikan banyak
permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa. Disamping itu, ormas-ormas Islam
seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan yang
lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasikan
pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan (hukum) yang terjadi di
masyarakat.
Sedangkan, Nahdlatul Ulama
(NU) sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah sejak awal
berdirinya telaha menjadikan faham Ahlussunah Waljamaah sebagai basis
teologi,(dasar beraqidah) dan menganut salah satu mazhab dari empat mazhab
sebagai pegangan dalam berfiqih, yaitu Imam Syafi’i. NU dalam kesehariannya
lebih banyak menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab
Imam Syafi’i
B. Rumusan masalah
a.
Bagaimana sejarah dan perkembangan
NU?
b.
Bagaimana metode Istinbath Hukum
Islam menurut NU?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas Tentang Nahdhatul Ulama
·
Sejarah
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada
tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’aridi
Surabaya.Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan
pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Dalam Anggaran Dasarnya
yang pertama (1927), dinyatakan bahwaNU bertujuanuntuk memperkuat
kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat.
·
Perkembangan NU
Dengan landasan keagamaan
tradisionalis yang dikembangkan, NU mampu bertanah hingga tujuh puluh
tahun.Sejak berdiri hingga eksis sekarang ini, NU mengalami dinamika sejarah
sesuai dengan situasi dan transformasi masyarakat.Seorang pengamat NU dari
Australia, Greg Barton dan Greg Fealy mengklarifikasi sejarah perjalanan NU
dalam tiga periode.
Pertama, periode awal sebagai
organisasi keagamaan, sebagaimana organisasi keagamaan lainnya seperti
Muhammadiyah, Persis dan Perti.NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyah
(organisasi keagamaan) yang mempunyai misi mengembangkan kegiatan-kegiatan
keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial.
Periode pertengahan, yakni ketika NU
sebagai organisasi keagamaan, berubah fungsi menjadi sebuah partai politik atau
menjadi unsur formal dalam sebuah partai. Era ini dimulai sejak tahun 1930,
yakni ketika NU bersama ormas lain mengadakan demo atas represi yang dilakukan
oleh pemerintahan kolonial. Setelah Indonesia merdeka, NU beraliansi dengan
Masyumi menjadi partai politik sebagai wahana artikulasi politik umat
Islam.Karena itu NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai
politik sampai pada akhirnya tahun 1971 fusi menjadi Partai Persatuan
Pembangunan.Di PPP pun, NU tidak dapat berbuat banyak bagi kepentingan bangsa
dan negara.Sebagai akumulasi dari kehampaan dalam dunia politik, NU kembali ke
khittah 1926.
Periode ketiga, NU kembali pada
aktivitas sosial keagamaan.Periode ini sebagai tonggak sejarah baru NU dalam
berkhidmat kepada bangsa dan Negara.[1]
B.
Metode Istinbath Hukum Islam Menurut
NU
Mekanisme
kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga ini di inventarisir, kemudian
disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan para pengasuh pondok pesantren
yang ada dibawah naungan NU.Selanjutnya para ulama melakukan penelitian
terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab
melalui kitab kuning (Klasik).Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk
saling beradu argument dan dalil rujukan.Dalam forum ini seringkali mereka
harus berdebat keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya
ditemukan dasar yang paling kuat.Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama.
Pada
umumnya, rujukan itu mengikuti pendapat Imam Syafi’I, karena madzab ini paling
banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan
geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafi’I tidak tersedia maka
pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam lingkungan madzhab yang
empat (syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi). Meskipun semua dasar selalu
merujuk pada pendapat ulama pendahulu, namun kondisi masyarakat selalu
dijadikan pertimbangan dalam penerapannya.[2]
Dalam
penelitiannya Dr. Ahmad Zahro ‘menemukan’ bahwa dalam mengaplikasikan
pendekatan mazhaby, Lajnah Bahtsul Masa’il menggunakan tiga metode istinbat
hukum yang diterapkan secara berjenjang, secara ringkas nya adalah:
a. Metode Qauliy
Merupakan suatu metode dalam istinbat hukum yang digunakan ulama /intelektual NU dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawaban jawabannya kepada kitab Imam yang empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada teksnya dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah ‘jadi’ dalam lingkup mazhab tertentu. Dalam realitanya, menurut warga NU dan para ulama bahwa metode bahtsul Masa’il dengan mengacu pada kitab Imam empat mazhab dengan metode qauliy ini masih refresentatif untuk menjawab segala kebutuhan masyarakat dalam segala zaman berikut tantangannya.
b. Metode Ilhaqy
Ilhaqiy yang dimaksudkan adalah menyamakan hukum suatu kasus yang jawabannya tidak terdapat dalam kitab al-mu’tabarah dengan hukmun atau masalah serupa yang telah dijawab dalam kitab al-mu’tabarah. metode ini secara operasional sebagaimana qauliy juga telah lama diperaktekkan ulama NU untuk menjawab permasalahan yang diajukan masyarakat Nahdliyyin. Metode ini secara opersional sebagaimana qauliy juga telah lama diperaktekkan oleh ulama yang meskipun secara implisit belum dinamakan ilhaqiy.[3]
Dalam perakteknya ilhaqiy menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas, karenanya juga dinamakan qiyas versi NU, namun ada perbedaan dari kedua term ini, qiyas memperbandingkan dengan al-Qur’an dan as-sunnah sedangkan ilhaqiy memperbandingkan dengan kitab al-mu’tabarah.
c. Metode Manhajiy
Yang dimaksudkan dengan metode
manhajiy adalah bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan
hukum yang telah disusun oleh Imam mazhab.[4]
Sebagaimana qauliy dan lhaqiy , manhajiy sebenarnya sudah diperaktekkan
Ulama-ulama NU terdahulu, walaupun tidak dengan istilah “manahjiy” ataupun
keputusan resmi namun jika dilihat dari kriteria dan ‘identitasnya’ metode ini
sudah lama dipakai. Sebagai contoh, dalam keputusan Muktamar 1 thn 1926: yang
menguraikan dapatnya pahala si mayit atas sodaqoh yang dikeluarkan keluarga dan
atau orang lain yang masih hidup, hal ini disandarkan jawabannya dengan
mengutip hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ أَخْبَرَنَا
رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِى
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم إِنَّ أُمَّهُ
تُوُفِّيَتْ أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ
لِى مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّى قَدْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا
Artinya: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw, sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya?? Maka beliau menjawab ‘ya’ dapat, Dia berkata sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kupersaksikan kepadamu bahwasanya saya telah menyedekahkannya untuk dia.[5]
Keputusan
diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy
karena langsung merujuk kepada hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan
oleh keempat Imam mazhab setelah al-Qur’an.
Dengan
melihat metode penyelesaian masalah dalam Lajnah Bahtsul Masa’il diatas dapat
disimpulkan dalam meyelesaikan persoalan ummat, NU dapat dikatakan tidak
‘enggan’ memakai hadis, kendati memakai suatu hadis namun Nahdiyyin tidak serta
merta langsung merujuk kepada teks hadis melainkankan memahaminya dengan
mereferens kembali kepada pemahaman Imam yang empat terhadap hadis tersebut (kitab
al-Mu’tabarah).
a. Tatacara Menjawab Masalah
ü
Dalam kasus ketika bisa dicukupi oleh Ibarat Kitab
dan disana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah
sebagaimana yang diterangkan dalam ibarat tersebut.
ü
Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh Ibarat
Kitab dan disana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan tahrir
jama’i untuk memilih satu qaul.
Proses pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan:
mengambil
pendapat yang lebih mashlahat atau yang lebih rajah (kuat);
sebisa
mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai
berikut:
ü pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhan (Imam An-Nawawi
dan Rafi’i);
ü pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja;
ü pendapat yang dipegang oleh al-Rafi’i saja;
ü pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama;
ü pendapat ulama yang terpandai; dan
ü pendapat ulama yang paling wara’(berhati-hati terhadap
hukum)
ü
Dalam kasus tidak ada qaul sama sekali yang memberikan
penyelesaian, maka dilakukan prosedur Ilhaq (menyamakan hukum suatu masalah
yang belum dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang ada dalam kitab).
ü
Dalam kasus tidak ada qaul sama sekali dan tidak mungkin
dilakukan Ilhaq, maka bisa dilakukan Istinbath jama’i dengan prosedur bermazhab
secara manhaj.
b. Analisis Masalah
Mengunakan kerangka pembahasan
masalah :
Ø
Analisa masalah (sebab mengapa terjadinya kasus ditinjau
dari berbagai factor baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dll)
Ø
Analisa dampak positif dan negatif dari berbagai aspek
Ø
Analisa hukum (fatwa tentang suatu kasus) setelah
mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang. Keputusan ini
mepertimbangkan :
1. Status hukum (al-ahkam al-khamsah)
2. Dasar dari ajaran Ahlussunnah
Waljama’ah
3. Hukum positif (hukum Negara yang
berlaku saat ini)
- Analisa tindakan, peran dan
pengawasan (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi fatwa diatas).[6]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan :
1. Nahdhatul Ulama (NU) merupakan salah
satu ormas Islam yang berperan dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesiayang
mempunyai misi mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi
dan sosial.
2. Prosedur pengambilan keputusan hukum
adalah:
Semua
masalah yang masuk ke lembaga ini diinventarisir, kemudian disebarkan ke
seluruh ulama, anggota Syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada
dibawah naungan NU.Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah
itu dan dijadikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab
kuning (Klasik).Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu
argument dan dalil rujukan. Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat
keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan
dasar yang paling kuat.Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama.
Daftar
Pustaka
Fadeli, Soeleiman dan Moh. Subhan,
,2008, Antologi NU, Khalista: Surabaya
Harits, Busyairi,2010, Islam NU
(Pengawal Trasisi Sunni Indonesia), Khalista: Surabaya
Sobary, Mohammad, 2010, NU dan
keindonesiaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Irsyad
al-Syari ed.Muhammad Ishomuddin Hadziq Jombang: Pustaka Warisan Islam.
Zahro, Ahmad Tradisi Intelektual NU
Lajnah Bahtsul Mas’ail 1926-1999 ,Yogyakarta: LKIS. 2004
[3] Martin Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian
Wacana Baru (Yogyakarta: LKIS. 1994) Cetakan I, Halaman 213, juga Ahmad Zahro
Tradisi Intelektual NU.....hlm 116
[4] Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan.....hlm 364
[5] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Bab idza
Wuqifa Ardlan Walam Yubayyin al-Hudud, no : 2770 dalam Maktabah al-Syamilah
juga Kitab al-Muhadzdzab, Bab al-Wasiyyat.
[6] Busyairi Harits, Islam. . .op.cit, hlm.59-61.
No comments:
Post a Comment
bercomentar baik pasti di tanggapi baik pula