BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia di dunia
ini pasti membutuhkan aturan atau hukum dalam menjalani kehidupan di dunia dan
akhirat. Hukum yang dibutuhkan manusia sudah berada dalam nas (al-qur’an).
لَا يُكَلِّفُ
ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ ٢٨٦
Tuhan tidak membebani seseorang kecuali menurut
kesanggupannya (al- baqarah 286). Salah satu pembahasan
hukum pidana Islam yaitu asas-asas hukum pidana. Didalam asas hukum pidana
terdapat berbagai macam asas-asas, salah satu diantaranya yaitu asas legalitas.
Dari pembahasan makalah ini akan
menguraikan tentang asas legalitas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian asas
legalitas ?
2. Apa sumber asas legalitas
?
3. Sebutkan dasar hukum asas
legalitas
4. Bagaimana penerapan asas
legalitas ?
5. Apa hubungan Asas Legalitas Antara Syara’ dengan Hukum Positif ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asas Legalitas
Asas legalitas ialah tidak
ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya suatu nas. Moeljatno menulis bahwa asas Legalitas itu
mengandung tiga pengertian:
1.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
(kiyas).
3.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Penerapan hukum pidana atau suatu
perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan
dilakukan. Menurut Hazewinkel-Suringa, jika suatu perbuatan (feit) yang
mencocoki rumusan delik yang dilakukan sebelum
berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak
dapat di tuntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat
dipidana.
Asas legalitas yang
tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan dalam Bahasa latin: “Nullum
delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat disalin kedalam
Bahasa Indonesia kata demi kata: “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah latin: “Nullum
crimen sine lege striccta, yang dapat disalin kata demi kata pula: “tidak
ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata
dalam Bahasa Belanda “ Geen delict, geen straf zonder een vooragaande
strafbepaling” untuk rumusan yang pertama dan “Geen delict zonder een
precieze wettelijke bepaling” untuk
rumusan yang kedua.[1]
B.
Sumber Asas
Legalitas
Asas legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya
yang asli dalam Bahasa belanda disalin kedalam Bahasa Indonesia kata demi kata,
maka akan berbunyi : “tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.
Salah satu aturan pokok yang sangat penting
dalam syariat Islam adalah: “sebelum ada nas (ketentuan), tidak ada hukum bagi
perbuatan orang-orang yang berakal
sehat”
لاَ
حُكْمَ لِاَ فْعَالِ الْعُقَلَاءِ قَبْلَ وُرُوْدِالنَّصِّ
Dengan perkataan lain perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin
dikatakan dilarang, selama belum ada nas (ketentuan) yang melarangnya, dan ia
mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya,
sehingga ada nas yang melarangnya.
Aturan pokok lain yang berbunyi:”pada dasarnya
semua perkara dan semua perbuatan diperbolehkan.” Sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
اَلْاَصْلُ فِى الْاَشْيَاءِ وَالْأَفْعَالِ الْإِبَا حَةُ
حَتَّى يَدُلَّ الدَّ لِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Dengan perkataan lain, semua perbuatan dan
semua sikap tidak berbuat dibolehkan dengan kebolehan yang asli, artinya bukan
kebolehan yang dinyatakan oleh syara’. Jadi selama belum ada nas
yang melarang, maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap
tidak-berbuat.
Kesimpulan dari pada kedua aturan pokok tersebut adalah bahwa: “ sesuatu
perbuatan atau sikap tidak-berbuat tidak boleh dipandang sebagai jarimah
kecuali adanya nas yang jelas dan yang melarang perbuatan dan sikap
tidak-berbuat tersebut. Apabila tidak ada nas yang demikian sikapnya,
maka tidak ada tuntutan atau pun hukuman atas pelakunya”.
Di samping kedua aturan pokok tersebut, masih ada aturan pokok
ketiga yang dinyatakan sebagai berikut: “menurut syara’ orang yang dapat di
beri pembeban hanya orang yang mempunyai sanggupan untuk memahami dalil-dalil
pembebanan dan untuk mengerjakannya, dan menurut syara’ pula pekerjaan yang di
bebankan hanya pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan di sanggupi serta
diketahui pula oleh mukallaf maupun pada perbuatan yang diperintahkan. Ada dua syarat
yang harus terdapat pada orang mukallaf yaitu :
1.
Sanggup memahami nas-nas syara’ yang berisi
hukum taklifi (tuntunan seperti suruhan, larangan dan sebagainya).
2.
Pantas di minta pertanggung jawaban dan
dijatuhi hukuman.
Kemudian syarat untuk
perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam:
1.
Perbuatan itu mungkin dikerjakan
2.
Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk
mengerjakannya maupun meninggalkannya.
3.
Dapat diketahui dengan sempurna oleh seseorang
mukallaf, dan hal ini berarti :
a)
Ia mengetahui hukum-hukum taklifi, dan ini bisa
terjadi, apabila hukum tersebut disiarkan kepada orang banyak. Orang yang tidak
mengetahui adanya perintah atau larangan, tentu tidak akan bertindak sesuai
dengan perintah larangan tersebut. Penerapan aturan ini atas jarimah, berarti bahwa
tidak ada sesuatu jarimah tanpa ada nas terlebih dahulu yang disiarkan
(diundangkan) kepada orang banyak.
b)
Pada ketentuan hukum (undang-undang) seperti
ada factor-faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat tidak bebuat, dan hal
ini artinya ia mengetahui bahwa ia akan dikenakan hukuman apabila tidak
berbuat. Penerangan syarat tersebut berarti bahwa sesuatu nas tentang perbuatan
jarimah berisi ketentan tentang hukumannya.
Kesimpulan
yang dapat ditarik dari aturan pokok ketiga tersebut sama dengan dua aturan
pokok yang sebelumnya yaitu tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa
sesuatu nas (ketentuan). Aturan pokok
tersebut sama dengan “asas legalitas” yang kita dapati pada hukum
positif.[2]
C. Dasar hukum Asas Legalitas
Asas legalitas pada syariat islam seperti tersebut diatas,
yang memberi kesimpulan bahwa tidak ada jarimah atau hukuman tanpa suatu nas
yang disebutkan dalam syara’, bukan didasarkan atas nas-nas syara’ umum semata
yang menyuruh keadilan dan melarang kezaliman, melainkan didasarkan atas
nas-nas yang jelas dan khusus mengenai soal ini.
Diantaranya ialah firman-firman tuhan sebagai
berikut:
1.
Kami tidak menjatuhkan siksa, sehingga kami
mengutus seorang Rasul(al-Isra’ 15).
مَنِ
ٱهۡتَدٰى فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ
عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا ١٥
Artinya
: “Barang siapa yang berbuat sesuai
dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan)
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”
2.
Tidaklah Tuhanmu (ya Muhammad ) menghancurkan
negri-negri ,sehingga ia mengutus dipusat negri-negri itu seorang Rasul yang
membacakan ayat-ayat kami pada mereka (al-Qashas 59).
وَمَا
كَانَ رَبُّكَ مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبۡعَثَ فِيٓ أُمِّهَا رَسُولٗا
يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِنَاۚ وَمَا كُنَّا مُهۡلِكِي ٱلۡقُرَىٰٓ إِلَّا
وَأَهۡلُهَا ظَٰلِمُونَ ٥٩
Artinya : “Dan
tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota
itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak
pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan
melakukan kezaliman”
3.
Agar dengan qur’an saya mempertakuti engkau
sekalian dan orang-orang yang didatangi qur’an (al-An’am 19 ).
قُلۡ
أَيُّ شَيۡءٍ أَكۡبَرُ شَهَٰدَةٗۖ قُلِ ٱللَّهُۖ شَهِيدُۢ بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۚ
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَۚ
أَئِنَّكُمۡ لَتَشۡهَدُونَ أَنَّ مَعَ ٱللَّهِ ءَالِهَةً أُخۡرَىٰۚ قُل لَّآ
أَشۡهَدُۚ قُلۡ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ وَإِنَّنِي بَرِيٓءٞ مِّمَّا
تُشۡرِكُونَ ١٩
Artinya
: Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah:
"Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini
diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu
mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah:
"Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan
Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (dengan Allah)"
4.
Tuhan tidak membebani seseorang kecuali menurut
kesanggupannya (al- baqarah 286).
لَا
يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا
ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ
رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ
مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ
عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى
ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٢٨٦
Artinya
: Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir"
5.
Katakan olehmu (ya Muhammad) kepada orang-orang
kafir, apabila mereka menghentikan (kekafirannya), maka akan diampuni bagi
mereka apa yang sudah-sudah (al-Anfal 38).
قُل
لِّلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِن يَنتَهُواْ يُغۡفَرۡ لَهُم مَّا قَدۡ سَلَفَ وَإِن
يَعُودُواْ فَقَدۡ مَضَتۡ سُنَّتُ ٱلۡأَوَّلِينَ ٣٨
Artinya
: Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti
(dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku
(kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu"
Nas-nas tersebut dengan jelas berisi sesuatu ketentuan, bahwa
tidak ada sesuatu jarimah kecuali sesudah ada penjelasan, dan tidak ada hukuman
kecuali sesudah ada pemberitahuan.
Juga bahwa Tuhan tidak menjatuhkan sesuatu siksa atas sesuatu
umat manusia kecuali sudah ada penjelasan dan pemberitahuan melalui mulut
Rasul- Rasulnya, dan pembebanan-pembebanan yang diberikan kepada mereka
termasuk perkara yang disanggupi.
Asas legalitas tersebut sudah terdapat pada
syari’at Islam sejak 14 abad yang lalu, seperti yang dibawa oleh al-Qur’an.
Dengan demikian , maka syari’at Islam mendahului hukum-hukum positif yang baru
mengenal aturan tersebut pada akhir abad ke 18 Masehi, ketika untuk pertama
kalinya dimuat dalam hukum prancis, sebagai salah satu hasil revolusi prancis.
Kemudian dimasukkan dalam “ pernyataan hak-hak manusia” yang dikeluarkan pada
tahun 1789, dan sesudah itu kemudian diambil oleh Negara-negara lain.[3]
D. Penerapan Asas Legalitas
Asas
legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua
jarimah, akan tetapi corak dan cara penerapannya itu tidak sama,
melainkan berbeda-beda menurut perbedaan macamnya jarimah, seperti yang akan
terlihat sebagai berikut :
a)
asas legalitas
pada jarimah hudud
Asas
legalitas diterapkan dengan teliti oleh syara’, dan hal ini Nampak jelas dari
nas-nas yang mengenai jarimah tersebut. Banyak kitab yang
membahas mengenai al-Jinayat wal ‘Uqubat di antaranya kitabul qisas,
kitabul jarahi, kitabul diyat, kitabul qasamah, kita buz zina, kitabul qadzaf,
kitabul khamer, kitabul sariqah. kitabul hirabah.
·
Untuk jarimah zina:
وَلَا
تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا ٣٢
Artinya
: “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang
buruk”
·
Untuk jarimah minum-minuman keras:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ
وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ
تُفۡلِحُونَ ٩٠
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan”
·
Untuk jarimah pencurian:
وَٱلسَّارِقُ
وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا
مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٣٨
Artinya
: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
b) asas legalitas
pada jarimah qishas-diyat
asas legalitas juga diterangkan pada jarimah
qishas diyat, sebagaimana yang dapat diketahui dari nas-nas yang tersebut berikut
ini.
Jarimah-jarimah
yang diancamkan hukuman qishas ialah pembunuhan-sengaja, dan
penganiayaan-sengaja. Jarimah-jarimah yang diancamkan hukuman diyat ialah
jarimah yang diancamkan hukuman qishas sebut, yang karena sesuatu sebab
tertentu qishas tidak dapat dijalankan, kemudian jarimah pembunuhan semi
sengaja, pembunuhan tidak sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.
Ø Untuk
pembunuhan sengaja :
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ
مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ
إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
Artinya : “Janganlah kamu membunuh
orang yang dimuliakan oleh Tuhan, kecuali dengan jalan yang benar. Maka barang
siapa yang dibunuh dengan aniaya, maka kami telah memberikan kepada walinya
(keluarganya) sesuatu kekuasaaan. Oleh karena itu hendaklah ia jangan
berlebih-lebihan dalam melakukan hukuman” (Qur’an Isra 33).
Ø Untuk penganiayaan sengaja :
وَلَكُمۡ
فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
١٧٩
Artinya : “Bagimu dalam qisas
adalah suatu kehidupan, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran” (Qur’an
Al-Baqarah 179).
Ø Untuk jarimah
pembunuhan semi sengaja :
Rasulullah
berkata : “ingatlah, pada pembunuhan keliru sengaja (semi sengaja), yaitu
pembunuhan dari pecut, tongkat dan batu, ialah seratus unta”(hadits)abu daud, an-nasa’i ibnu majah
Ø Untuk pembunuhan tidak
sengaja :
وَمَا
كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَٔٗاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا
خَطَٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ
أَهۡلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ
وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ وَإِن كَانَ مِن قَوۡمِۢ
بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُم مِّيثَٰقٞ فَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ
وَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ
مُتَتَابِعَيۡنِ تَوۡبَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا
٩٢
Artinya : “Tidaklah boleh bagi sesesorang mukmin untuk membunuh seseorang mukmin lain,
kecuali karena keluputan (kekeliruan tidak sengaja). Barang siapa yang membunuh
seseorang mukmin karena keluputan maka atasnya membebaskan hamba mukmin dan
diyat yang diberikan kepada keluarganya kecuali kalau mereka menyedakahkannya.
Kalau korban adalah dari suatu kaum yang menjadi musuf bagimu sedang ia adalah
orang mukmin, maka atasnya membebaskan hamba mukmin. Kalau korban
berasal dari kaum dimana antara kamu dengan mereka ada suatu perjanjian maka
atasnya adalah diyat yang diserahkan kepada keluarganya dan membebaskan hamba
yang mukmin. Barang siapa tidak mendapatkan maka atasnya puasa dua bulan
berturut-turut sebagai syarat penerimaan taubat dari Allah” (Qur’an An-Nisa 92).
Ø Untuk
penganiayaan tidak sengaja :
Dalam
jarimah ini rasululllah menentukan batas-batas hukum diyat, dengan dasar
perhitungan apabila pada badan hanya terdapat satu macam anggota badan, seperti
hidung, lidah, alat kelamin, maka dikenakan satu diyat lengkap, yaitu seratus
unta.
Ø Penganiayaan
sengaja
Dalam beberapa macam penganiayaan sengaja,
Rasulullah SAW telah menetapkan hukumannya. Seperti dalam melukai kepala dan
muka, apabila sampai tulangnya Nampak (mudlihah), maka dikenakan lima unta.
Apabila sampai mematahkan tulang, dikenakan sepuluh unta. Apabila sampai
mengenai lapisan otak, atau mengenai otak sendiri, dikenakan sepertiga diyat
(diyat ialah seratus unta) tiap-tiap pelukaan yang sampai masuk perut atau dada
dikenakan sepertiga diyat juga.
c) Asas legalitas
pada jarimah ta’zir
Asas legalitas juga diterapkan oleh syara’ pada jarimah ta’zir meskipun
berbeda dengan penerapan pada jarimah-jarimah hudud dan qisas diyat karena
penerapan pada jarimah ta’zir diperlonggar, sebab corak jarimah ta’zir ini
serta kemaslahatan umum menghendaki adanya pelonggaran tersebut. Sebagai akibat
adanya pelonggran ini, maka untuk jarimah-jarimah ta’zir tidak perlu ada
penyebutan hukuman secara tersendiri, seperti yang kita dapati pada
jarimah-jarimah hudud dan qisas diyat. Dalam hal ini seseorang hakim boleh memilih
sesuatu hukuman yang sesuai dengan macamnya jarimah ta’zir dan perbuatannnya
Adapun
sebagai akibat adanya kelonggaran tersebut ialah bahwa untuk beberapa
jarimah yang mempunyai sifat-sifat tertentu tidak diperlukan ketentuan
tersendiri yang menyatakannnya sebagai jarimah, melainkan cukup dinyatakan
dengan cara yang umum.[4]
E. Asas Legalitas Antara Syara’ dengan Hukum Positif
Asas legalitas baru dikenal oleh hukum positif
pada akhir abad kedelapan belas masehi sebagai hasil dari revolusi perancis.
Sebelum masa tersebut para hakim bisa bertindak sekehendak hatinya dalam
menentukan macamnya jarimah dan hukumnya. Pendirian hukum positif sama
dengan syara’, bahwa permulaan tindak pidana tidak dapat dihukum,akan tetapi
dikalangan sarjana-sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang
saat dimana pembuat dianggap telah mulai melakukan jarimahnya itu. Pertama,
menurut aliran obyektif, saat tersebut ialah ketika ia melakukan perbuatan
material yang membentuk suatu jarimah.
Dengan kata lain aliran ini melihat kepada
obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat. Kedua, menurut aliran
subyektif, aliran ini memakai niatan dan pribadi pembuat untuk mengetahui
maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Denagan kata lain, aliran ini menekan
kepada subyek atau niat pembuat. Dari perbandingan syara’, ternyata pendirian
syara’ dapat menampung kedua aliran tersebut. Akan tetapi syara’ menambahkan
syarat yaitu apabila perbuatan pembuat bisa dikualifikasikan sebagai perbuatan
maksiat / perbuatan salah, baik yang bisa menyiapkan jalan untuk jarimah yang
dimaksudkan atau tidak.
Meskipun pada masa sekarang asas legalitas
itu masih dipakai, namun sudah diperlonggar, tidak seperti pada masa pertamanya
yang diterapkan secara ketat. Di Indonesia asas legalitas ini masih tetap
dipakai, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUH Pidana Indonesia
yang berbunyi: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan atas kekuatan
ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
terjadi”.[5]
PENUTUP
Kesimpulan
Penerapan hukum pidana atau suatu
perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan
dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan
hukum pidana dari segi lain.
Salah satu aturan pokok yang sangat penting
dalam sayariat Islam adalah: “sebelum ada nas (ketentuan), tidak ada hukum bagi
perbuatan orang-orang yang berakal
sehat”.
Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada
semua jarimah, akan tetapi corak dan
cara penerapannya itu tidak sama, melainkan berbeda-beda menurut perbedaan
macamnya jarimah.
Baik syara’ maupun hukum positif memegangi prinsip “”Legalitas”
yakni tidak ada hukuman, selain atas kekuatan aturan pidana dalam nas
(undang-undang). Akan tetapi dalam menerapkan prinsip tersebut terdapat
beberapa perbedaan antara dengan hukum positif.
Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin,Hukum Pidana Islam, Cet I(Jakarta:Sinar Grafika,2007)
Ash Shiddieqy, Hasbi, pengantar hukum islam,(Jakarta: Bulan Bintang,
1994 )
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pudana Islam, cet. III (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1986)
Hamzah, Andi, Asas-asas
Hukum Pidana (Jakarta: Pt
Rineka Cita. 1991)
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994)
Black Titanium Wedding Band: A Beginner's Guide to Music
ReplyDeleteThe band was formed titanium glasses in 1994 and grew titanium road bike into a band which grew quickly. We had a group titanium tools of friends omega seamaster titanium and family titanium band ring who worked hard to get them