PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu
yang diketahui manusia tersebut disebut pengetahuan. Pengetahuan dibedakan
menjadi 4 (empat), yaitu pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan
filsafat, pengetahuan agama. Istilah ”pengetahuan” (knowledge) tidak
sama dengan ”ilmu pengetahuan” (science). Pengetahuan seorang manusia
dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain
sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika
tertentu serta ilmu juga bersifat universal. Perkembangan ilmu yang banyak dan
maju tidak berarti semua pertanyaan dapat dijawab, oleh sebab itu
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi porsi pekerjaan
filsafat.
Berbicara mengenai filsafat, maka filsafat sering dipahami sebagai
sebuah falsafah atau sebuah pandangan umum dan mendalam tentang hidup yang
dijalani manusia. Dalam pemahaman yang demikian, filsafat ditangkap sebagai
sesuatu yang abstrak.[1]
Filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi
yang strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia.
Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita
sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit)
disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).[2]
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, dapat
dirumuskan ke dalam permasalahan, yaitu:
1.
Apa
fungsi filsafat hokum?
2.
Bagaimanakah
peran filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Fungsi Filsafat Hukum
Pada zaman yunani kuno hokum dipandang berkaitan dengan alam. Alam
dikuasai oleh hokum yang biasanya disebut hokum alam. Demikan juga manusia yang
termasuk alam itu. Dalam pandangan yang demikian, hukum berfungsi untuk
mengatur hidup manusia supaya mengikuti peraturan yang sesuai dengan
hakikatnya. Dalam abad pertengahan pandangan ini berubah, hukum tetap
dipertahankan dalam fungsinya yang semula, yakni menciptakan
peraturan-peraturan. Namun antara yang terwujud tidak di pandang agi sebagai
suatu keharusan alamiah. Aturan hukum adalah aturan Allah Swt. Hukum berfungsi
untuk menjamin suatu aturan hidup sebagaimana yang di kehendaki oleh pencipta
manusia.
Dalam pandangan modern, pandangan terhadap hukum berubah lagi.
Hukum dilihat sebagai ciptaan manusia sendiri, ia menentukan aturan dalam
kehidupan nya. Latar belakang pandangan ini adalah kenyataan bahwa manusia
adalah makhluk yang bebas. Ia membangun kehidupannya, baik kehidupan pribadi
maupun kehidupan kelompok sesuai dengan kebutuhan dan cita-citanya. Fungsi
hukum dalam pandangan ini ialah mewujudkan suatu kehidupan bersama yang teratur
sehingga dapat menunjang perkembangan pribadi setiap manusia.[3]
2.
Peran Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia
Salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam era
reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi
sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang
efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari.
Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali
kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber daya manusia dan kultur dan
kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan
materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui
sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.
Dalam upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan
hirarkis peraturan perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat. Di
samping itu, era Orde Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah
Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum
dan tata-urut peraturan perundang-undangan, dalam prakteknya selama 32 tahun
belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan
bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih
dalam prakteknya, masih banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak
mengikuti sistem yang baku.
Sementara itu, setelah lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka,
sangat dirasakan adanya kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap
pasal-pasal dalam UUD 1945 yang banyak pihak menilai ada pasal yang tidak
relevan lagi dengan perkembangan zaman. Ditambah lagi dengan munculnya
kebutuhan untuk mewadahi perkembangan otonomi daerah di masa depan yang dapat
mendorong tumbuh dan berkembangnya dinamika hukum adat di desa-desa yang
cenderung diabaikan atau malah sebaliknya dikesampingkan dalam setiap upaya
pembangunan hukum selama lebihdari 50 tahun terakhir.
Didalam Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa Pancasila adalah
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia.[4]
Mengingat falsafah Pancasila adalah merupakan ruh perjuangan dari para pejuang
bangsa, yang merupakan alat pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh
daerah, ras, suku, agama, golongan, dan lain sebagainya. Mengingat masyarakat
Indonesia sangat heterogen, maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur
para pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera
dimungkinkan dapat tercapai. Dilihat dari materinya Pancasila digali dari
pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat dari materi atau bahan dalam
negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan bangsa, tidak merupakan
produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari
luar negeri.[5]
Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945
adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan
UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh
UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum
tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita[13]. Didalam Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa Pancasila adalah
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. Mengingat falsafah
Pancasila adalah merupakan ruh perjuangan dari para pejuang bangsa, yang
merupakan alat pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh daerah, ras,
suku, agama, golongan, dan lain sebagainya. Mengingat masyarakat Indonesia
sangat heterogen, maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para
pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera
dimungkinkan dapat tercapai. Dilihat dari materinya Pancasila digali dari
pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat dari materi atau bahan dalam
negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan bangsa, tidak merupakan
produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari
luar negeri.
Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945
adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan
UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh
UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum
tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita[.
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap
sumber dari segala sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu,
yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian
untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang
dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan. Lain halnya
dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai
sumber dari segala sumber hukum adalah kedaulatan rakyat, dan Indonesia
menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila. Akan tetapi berbeda dengan
konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan
John Locke (yang mengarah pada demokrasi parlementer).
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD
1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk
filsafat hukum negara Indonesia. Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya
suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat
yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat
Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip
kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi
hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil
law/khususnya negara Belanda).
Hukum Islam sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai
rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, contoh
konkrit dari hukum Islam yang masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk
filsafat hukum adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Didalamnya terdapat pasal tentang bolehnya poligami bagi laki-laki yaitu dalam
Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak
yang protes pada pasal kebolehan poligami tersebut.
Namun di sisi lain tidak sedikit pula yang mempertahankan
pasal serta isi dari Undang-Undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga yang
berjuang mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih
berlaku tanpa adanya perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat
hukum yang muncul dari kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara
konstitusi kenegaraan, yang mayoritas masyarakat Indonesia adalah agama Islam,
yang menganggap ayat-ayat ahkam dalam kitab suci Al-Qur’an adalah mutlak untuk
diikuti dalam hukum.
Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi negara
Indonesia, contoh adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya
Undang-undang Otonomi daerah, yang pada intinya memenuhi kebutuhan masyarakat
Indonesia yang sangat heterogen. Maka dengan filsafat hukum yang dikembangkan
melalui ide dasar Pancasila akan dapat mengakomodir berbagai kepentingan,
berbagai suku, serta menyatukan perbedaan ideologi dalam masyarakat yang sangat
beraneka ragam, dengan demikian masyarakat Indonesia akan tetap dalam koridor
satu nusa, satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, yang menjunjung nilai-nilai
luhur Pancasila.
Daftar Pustaka
Ali,
Zainuddin. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Cahyadi,
Antonius dan E. Fernando M. Manulang. 2008. Pengantar ke Filsafat Hukum.
Jakarta: Kencana.
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta. 1995. Pokok-pokok
Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat
Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011.
[1] Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke
Filsafat Hukum, (Kencana, Jakarta, 2008), hal 3.
[2] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok
Filafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI Mei 2006), hal 154.
[3] Zainuddin Ali,
Filsafat Hukum, (Sinar Grafika :Jakarta, 2006), Hal 25.
[4]Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang diundangkan pada
tanggal 12 Agustus 2011.
No comments:
Post a Comment
bercomentar baik pasti di tanggapi baik pula