Thursday, October 13, 2016

Makalah Bab Akad Fiqh Muamalah




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakan sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah karena itu merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk membahas mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Akad ?
2. Bagaimana Kedudukan, Fungsi, Ketentuan dan Pengaruh Aib dalam Akad ?
3. Apa Syarat-Syarat Akad ?
4. Apa Rukun-Rukun akad ?
5 Apa Macam-macam akad ?
6 Apa Yang menyebabkan Berakhirnya Akad ?
7 Apa Hikmah Akad ?






A.    Pengertian Akad
Kata akad berasal dari kaata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan. Dalam hukum Indonesia, akad sama dengan perjanjian. Sebagai suatu istilah hukum islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada akad:
1.            Akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.
2.            Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, malikiyah dan hambaliyah, yaitu: “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.”
3.             Akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.
 Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ).
Secara kesimpulan istilah fiqh, akad didefinisikan dengan : Pertalian ijab(pernyataan melakukan ikatan) dan kabul(peryataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan. Pencantuman kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata-kata “berpengaruh kepada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan kabul).[1]
B. Kedudukan, Fungsi, Ketentuan dan Pengaruh Aib dalam Akad

1.       Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
2.      Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati.
3.      Tidak sah akad yang disertai dengan syarat. Misalnya dalam akad jual beli aqid berkata: “Aku jual barang ini seratus dengan syarat dengan syarat kamu menjual rumahmu padaku sekian…,” atau “aku jual rumah barang ini kepadamu tunai dengan harga sekian atau kredit dengan harga sekian”, atau “aku beli barang ini sekian asalakan kamu membeli dariku sampai dengan jangka waktu tertentu sekian”.
4.      Akad yang dapat dipengaruhi Aib adalah akad akad-akad yang mengandung unsur pertukaran seperti jual beli atau sewa.
5.       Cacat yang karenanya barang dagangan bisa dikembalikan adalah cacat yang bisa mengurangi harga/nilai barang dagangan, dan cacat harus ada sebelum jual beli menurut kesepakatan ulama. Turunnya harga karena perbedaan harga pasar, tidak termasuk cacat dalam jual beli.
6.       akad yang tidak dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan, dan sedekah, tak ada sedikitpun pengaruh aib di dalamnya.
7.       Akad tidak akan rusak/ batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad pernikahan.
8.       Nikah tidak dikembalikan (ditolak) lantaran adanya setiap cacat yang karenanya jual beli
dikembalikan, menurut ijma’ kaum musllimin, selain cacat seperti gila,kusta, baros, terputus dzakarnya, imptoten, fataq (cacat kelamin wanita berupa terbukanya vagina sampai lubang kencing atau Ada juga yang mengatakan sampai lubang anus (cloaca). Kebalikan dari fatq adalah rataq, yaitu tertutupnya vagina oelh daging tumbuh), qarn (tertutupnya vagina oleh tulang), dan adlal, tidak ada ketetapan khiyar tanpa diketahui adanya khilaf diantara ahlul ilmi. Dan disyaratkan bagi penetapa khiyar bagi suami tidak mengetahuinya pada saat akad dan tidak rela dengan cacat itu setelah akad. Apabila ia tahu cacat itu setelah akad atau sesudahnya tetapi rela, maka ia tidak mempunyai hak khiyar. Dan tidak ada khilaf bahwa tidak adanya keselamatan suami dari cacat, tidak membatalkan nikah, tapi hak khiyar tetap bagi si perempuan, bukan bagi para walinya.
Dalam hal pernikahan Jika ada cacat dalam mahar maka boleh dikembalikan dan akadnya tetap sah dengan konsekuensi harus diganti.

C . Syarat-Syarat Akad
            Syarat-Syarat Akad sebagai berikut:
1)      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di pengampuan , dan karena boros.
2)      Yang di jadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3)      Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid yang memiliki barang.
4)      Janganlah akad  itu akad yang dilarang oleh syara’ , seperti jual beli mulasamah. Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbalan amanah (kepercayaan).
5)      Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah ijabnya.
6)      Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.[2]

D. Rukun-Rukun akad
            Rukun-Rukun Akad sebagai berikut:
1.      ‘Aqid, adalah orang yang berakad (subjek akad); terkadang masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang.
2.      Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek akad), seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau pemberian, gadai, dan utang.
Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
a)      Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
b)      Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
c)      Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
d)     Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e)      Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3.      Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan di beri ganti.
4.      Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya. Pengertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang menunjukan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad, misalnya yang berlangganan majalah, pembeli mengirim uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari kantor pos.[3]

Dalam ijab kabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut:

a.       Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b.      Adanya kesesuaian antara ijab dan kabul
c.       Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukan penolakan dan pembatalan dari keduanya.
d.      Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena di ancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan.

Ijab kabul akan dinyatakan batal apabila :

a.       Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat kabul dari si pembeli.
b.      Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c.       Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan kabul dianggap batal.
d.      Kedua pihak atau salah satu, hilang kesepakatannya sebelum terjadi kesepakatan.
e.       Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya kabul atau kesepakatan.
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fiqh menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad, yaitu[4]
1)      Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua ‘aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan kitabah. Atas dasar inilah para ulama membuat kaidah: “Tulisan itu sama dengan ucapan”.
2)      Isyarat. Bagi orang-orang tertentu akad tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan atau tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatkan kaidah sebagai berikut: “Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah”.

E .    Macam-macam akad

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dan dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari keabsahannya menurut syara’, akad di bagi menjadi dua, yaitu:

1.      Akad Shahih, adalah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak yang berakad.
2.      Akad yang tidak Shahih, adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehinga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.

Akad Shahih di bagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu:
a)      Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), adalah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b)      Akad mawquf, adalah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang mumayiz.

Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya jual beli yang sahih itu, para ulama fiqh membaginya kepada dua macam, yaitu:
1.      Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual beli dan sewa-menyewa.
2.      Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti akad al-wakalah(perwakilan), al-ariyah(pinjam-meminjam), dan al-wadhi’ah (barang titipan).[5]

Akad yang tidak Shahih di bagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu:
a)      Akad batil ialah akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas. Atau terdapat unsaur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
b)      Akad fasid ialah akad yang pada dasarnya disyariatkan, akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang akan dijual, atau tidak disebut brand kendaraan yang dijual, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli.
Ulama fiqh menyatakan bahwa akad batil dan akad fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apapun.

F. Berakhirnya Akad

1.      Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2.      Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.      Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
a)      Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
b)      Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c)      Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
d)     Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.[6]
4.      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

G . Hikmah Akad
            Diadakannya akad dalam muamalah antarsesama manusia tentu mempunyai hikmah, antara lain:
1.      Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
2.      Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
3.      Akad merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.[7]















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Akad ialah pertalaian ijab (ungkapan tawaran disatu pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak lain) yang memberikan pengaruh pada suatu kontrak.
Rukun-Rukun Akad sebagai berikut:
1.      ‘Aqid, adalah orang yang berakad (subjek akad); terkadang masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang.
2.      Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek akad).
3.      Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad.
4.      Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya. Pengertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang menunjukan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad.
Syarat-Syarat Akad sebagai berikut:
1)      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di pengampuan , dan karena boros.
2)      Yang di jadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3)      Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid yang memiliki barang.
4)      Janganlah akad  itu akad yang dilarang oleh syara’ , seperti jual beli mulasamah (saling merasakan).
5)      Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbalan amanah (kepercayaan).
6)      Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah ijabnya.
7)      Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
Macam-Macam Akad
1.      Akad Shahih, adalah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak yang berakad.
2.      Akad yang tidak Shahih, adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehinga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
Berakhirnya Akad
1.      Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2.      Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.      Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
e)      Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
f)       Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
g)      Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
h)      Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.
4.      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.



DAFTAR PUSTAKA


Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghazaly, Abdul Rahman, et. al. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana.
Kholisoh, Siti dan Yadi Setiadi http://chezam.wordpress.com/2009/10/14/makalah-tentang-akad/(di akses pada 19 Februari 2014).
Shiddieqy, Hasbi Ash. 1997. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.



















[1] Abdul Rahman Ghazaly, et.al, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 51.
[2] Abdul Rahman Ghazaly, et.al,  op.cit., hlm. 55.
[3] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Kencana:2010), hlm.51.
[4] Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 30.
[5] Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit., hlm. 20.
[6] Abdul Rahman Ghazaly, et.al,  op.cit., hlm. 58-59.
[7] Ibid, hlm. 59.

No comments:

Post a Comment

bercomentar baik pasti di tanggapi baik pula

Makalah Sumber Hukum NU

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi. Majlis Ul...