BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sumber pokok hukum Islam adalah Al-Quran dan
as-Sunnah Pada masa Rasul, manakala muncul suatu persoalan hukum, baik yang
berhubungan dengan Allah maupun kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat
Al-Quran untuk menjelaskannya. Rasul sebagai Muballig, menyampaikan
penhyampaian penjelasan ini kepada umatnya untuk di ikuti.
Seiring dinamika zaman yang berubah maka sumber
diatas membutuhkan analis (ijtihad) meskipun secara historis sudah ditutup yang
kemudian ulama modernis untuk membukanya kembali dan dilakukan oleh ulama dunia
(termasuk Indonesia) dengan berbagai pendekatan dan metode. Oleh karenanya
dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan akan dapat menemukan
hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul dalam keadaan
sosial dan teretorial yang berbeda, Kenyataan yang demikian maka Indonesia
sebagai negara yang penduduknya yang terdiri dari beberapa suku dan mayoritas
Islam tergugah untuk menjawab tantangan yang ada demi tercapainya perpaduan
budaya, agama, dan tradisi yang majemuk, sembari memasuki era perkembangan
modern, tanpa menyia-nyiakan nilai-nilai keIslamannya. Salah satu penetapan
ataupun hasil ijtihad dari permasalahan di Indonesia adalah fatwa, makalah ini
akan mencoba menguraikan, Bagaimana metode istinbath hukum MUI (Majlis Ulama
Indonesia) dalam mengeluarkan fatwa.[1]
Rumusan masalah
1.
Apa itu Fatwa?
2.
Bagaimana kedudukan Fatwa?
- Bagaimana Metodologi istinbath hukum fatwa majlis Ulama Indonesia?
- Bagaimana Metode Ijtihad Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam menetapkan Hukum Rokok?
BAB II
PEMBAHASAN
Fatwa adalah bahasa Arab yang berarti jawaban
atas pertanyaan atau hasil ijtihad atau ketetapan hukum. Maksudnya ialah
ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang
dinyatakan oleh seorang mujtahid sebagai hasil ijtihadnya.
Berijtihad tidak mungkin dilakukan oleh seluruh
kaum muslimin, karena kemampuan mereka beragam dan bertingkat. Hanya orang
tertentu yang memiliki syarat-syarat tertentu untuk berijtihad. Karena itu
melakukan ijtihad tidak dapat ditetapkan sebagai fardu a’in bagi seluruh
kaum muslimin.
Indonesia mempunyai wadah permusyawarahan para
ulama yang di sebut dengan MUI, dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa
majlis diharapkan melaksanakan tugasnya dalam memberikan fatwa-fatwa dan nasihat
dalam memecahkan dan menjawab seluruh persoalan sosial-keagamaan dan kebangsaan
yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Jawaban yang diberikan oleh MUI adalah
fatwa yang dikeluarkan melalui Komisi Fatwa MUI secara kolektif, baik di
tingkat pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota. Penetapan fatwa MUI
didasarkan sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an, Sunnah (Hadis), Ijma` dan Qiyas.
Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif dan antisipatif.[2]
- Kedudukan fatwa dan syarat-syaratnya
- Metode Al-Quran dan As-sunnah dalam menjelaskan hukum
Fatwa merupakan salah satu metode dalam
al-Quran dan As-sunnah dalam menerangkan hukum syara’, ajaran-ajaran dan
arahan-arahannya. Kadang-kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya
pertanyaan perintah fatwa, dan cara inilah yang dominan terdapat daklam
al-Quran baik mengenai persoalan hukum maupun nasihat dan pengajaran. Namun
demikian terkadang penjelasan itu datang setelah adanya pertanyaan dan
permintaan fatwa terlebih dahulu dengan menggunakan perkataan يسألونك (mereka
bertanya kepadamju), dan bentuk pertanyaan seperti ini paling banyak terdapat
dalam al-Quran diantara bentuk pertanyaan lainnya. Seperti firman Allah:
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ..
“mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit,
katakanlah bulan bilan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadah) haji”.
1.
Kedudukan fatwa
Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan
sangat penting karena mufti (pemberi fatwa) sebagaimana di katakana oleh imam
asy-syatibi merupakan pelanjutan tugas Nabi SAW, sehingga ia berkedudukan
sebagai khalifah dan ahli waris beliau, “ulama merupakan ahli waris para
nabi”.
Akan tetapi pada periode sekarang bahwasannya
fatwa mempunyai nilai kebebasan, artinya boleh dilaksanakan dan boleh tidak,
tergantung kepada orang yang memerlukan fatwa itu dan orang yang memberikan
fatwa.
- Syarat-syarat mufti
Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah
orang yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, agar yang difatwakannya
tentang suatu masalah hukum sesuai dengan yang sebenarnya. Abu Ishaq Ibrahim
menguraikan secara detail tentang syarat-syarat seorang mufti, yang
dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Harus Mengetahui sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik qauliyah, fi’liyah dan taqririyah;
- Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya;
- Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh;
- Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab;
- Mengetahui nasakh, mansukh, dan hukum-hukumnya;
- Mengetahui ijma’ dan khilafiyah ulama terdahulu;
- Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya;
- Mengetahui ijtihad;
- Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil;
- Mengetahui cara mentarjih;
- Harus orang yang dipercaya dan jujur; dan
- Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama.
Mufti adalah panutan dan ikutan kaum muslimin,
karena itu disamping ia ahli al-Qur‟an dan hadits, ia juga seorang yang
mempunyai akhlakul karimah (budi pekerti yang mulia), sabar tidak
pemarah, bilaksana, selalu memikirkan kepentingan kaum muslimin.[3]
- Metodologi istinbath hukum fatwa majlis Ulama Indonesia
Pedoman fatwa MUI ditetapkan dalam surat
keputusan MUI nomor, U-596/MUI/X/1997, dalam surat keputusan tersebut, terdapat
tiga bagian proses utama dalam menentukan fatwa, yaitu dasar-dasar umum
penetapan fatwa,prosedur penetapan fatwa dan teknik dan kewenangan organisasi
dalam penetapan fatwa.
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI
ditetapkan dalam pasal 2 (1 dan 2). Pada ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa
didasarkan pada adillat al-ahkam yang paling kuat dan membawa
kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa dasar-dasar
fatwa adalah alquran, hadis, ijma’, qiyas dan dalil-dalil lainnya.
Sedangkan prosedur penetapan fatwa dilakukan
dengan langkah-langkah berikut:
- Setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat komisi untuk mengetahui subtansi dan duduk masalahnya.
- Dalam rapat komisi dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah yang akan di fatwakan untuk di dengarkan pendapatnya untuk dipertimbangkan.
- Setelah ahli didengar dan dipertimbangkan ulama melakukan kajian terhadap pendapat para imam mazhab dengan fuqaha dengan memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai cara istidlal-nya dan kemaslahatannya bagi umat. Apabila pendapat ulama seragam atau hanya satu ulama yang memiliki pendapat, komisi bisa menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa.
- Jika fuqaha memiliki ragam pendapat komisi melakukan pemilihan pendapat melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan.
- Jika tarjih tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi bisa melakukan ijtihad jama’I menggunakan al-Qawaid al-ushuliyyat dan al-qawa’id al-fiqhiyyat.
Teknik berfatwa yang dilakukan oleh MUI adalah
rapat komisi dengan menghadirkan ahli yang diperlukan dalam membahas suatu
permasalahan yang akan difatwakan. Rapat komisi dilakukan apabila ada
pertanyaan atau permasalahan itu sendiri berasal dari perintah, lembaga sosial
kemasyarakatan maupun dari MUI sendiri.[4]
- Metode Ijtihad Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam menetapkan Hukum Rokok
Dalam memutuskan suatu fatwa MUI terlebih
dahulu menimbang masalah yang dipertanyakan oleh masyarakat maupun oleh
pemerintah dengan melihat kondisi yang ada pada masyarakat (relevansi hukum),
begitu juga dengan fatwa tentang hukum merokok, maka MUI terlebih dahulu
menimbang adanya manfaat dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh rokok.
Masyarakat mengakui bahwa industri rokok telah memberikan manfaat ekonomi dan
sosial yang cukup besar, industri rokok juga telah memberikan pendapatan yang
cukup besar bagi Negara. Bahkan, tembakau sebagai bahan baku rokok telah
menjadi tumpuan ekonomi bagi sebagian petani. namun disisi yang lain merokok
dapat membahayakan kesehatan (dlarar) serta potensi terjadinya pemborosan dan
merupakan tindakan tabdzir. Secara ekonomi, penangulangan bahaya merokok juga
cukup besar.
Mengenai hukum merokok, Majelis Ulama Indonesia
memutuskan fatwanya dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III
tahun 2009 tentang hukum merokok dijelaskan bahwa: Peserta Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa se-Indonesia III sepakat bahwa merokok hukumnya haram jika
dilakukan: di tempat umum, oleh anak-anak dan oleh wanita hamil.
Sebelum memutuskan fatwa mengenai hukum merokok
ini, MUI terlebih dahulu memperhatikan makalah “hukum merokok dalam kajian
fiqh” yang dipresentasikan oleh Dr. K.H. Ahmad Munif Suratmaputra, MA. Dan
makalah yang berjudul “Bahaya Rokok Bagi Kesehatan Tinjauan Dari Perspektif
Islam” yang di tulis oleh Drs. K.H. Abdussomad Buchori. Dalam makalah K.H Ahmad
Munif tersebut dijelaskan bahwa hukum merokok diperselisihkan oleh para fuqaha
yaitu: Pertama, pendapat yang mengharamkanya. Kedua, pendapat yang
memakrukannya. Ketiga, pendapat yang membolehkanya. Keempat, sikap yang tidak
mengambil pendapat apapun. Kelima, pendapat yang menyatakan bahwa rokok itu
bisa terkena hukum yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah)
sesuai situasi dan kondisi. Sedangkan dalam makalah K.H. Abdussomad Buchori dijelaskan
bahaya rokok dalam tinjauan hukum Islam serta pandangan ulama’ tentang rokok.
Adapun dasar istinbath yang digunakan MUI dalam
penerapan hukum rokok adalah:
1.
Ayat-ayat al-Quran sebagai berikut:
…..يأمر هم بالمعرو
ف وينهاهم عن المنكرويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبا ئث……..
1.
Hadis Nabi SAW:
لاضرار ولاضرار
1.
Kaidah fiqhiyyah:
الضرر يزا ل
الحكم يدور مع
علته وجودا وعد ما
- Perlindungan dari Komnas Perlindungan Anak, GAPPRI, Komnas Pengendalian Tembakau, Departemen Kesehatan terkait masalah rokok.
- Hasil rapat koordinasi MUI tentang masalah merokok yang diselengarakan pada 10 September 2008 di Jakarta, yang menyepakati bahwa merokok disamping menimbulkan madharat juga ada manfaatnya.
- ] Jadi menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan dalam syariat baik bahayanya terhadap badan, akal ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula bahwa mrokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta.
Dapat kita pahami juga dari pemaparan di atas
bahwa MUI mempunya tujuan merealisasikan kemaslahatan. dikatakan oleh Izzudin
Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah untuk meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan, karena maslahat akan membawa manfaat sedangkan mafsadah membawa
kemadaratan. Sejalan dengan hal itu apabila ada berkumpul antara maslahat dan
mafsadah, maka yang harus dipilih adalah yang maslahatnya lebih banyak (lebih
kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama kuatnya maka menolak mafsadah lebih
utama dari pada menarik maslahat, hal ini sesuai dengan kaidah:
دفع المفاسد مقد
م على جلب المصا لح
Pandangan mengenai maslahah dalam pandangan
Najamuddin at-Tufi dengan konsep maslahahnya yang bertolak dari hadis
Rasulullah yang berbunyi:
لاضرر ولاضرار
Maksud kata لاضرر
ولاضرار adalah seseorang tidak
boleh menyengsarakan dirinya sendiri dan juga tidak boleh menyengsarakan orang
lain. Jika seseorang tidak membinasakan dirinya sendiri dan orang lain, maka
secara otomatis kemaslahatan itu akan terwujud dan terjaga.
Oleh karena itu, Jika hukum merokok dilihat
dari segi manfaat dan madaratnya, maka dalam menentukan status hukumnya sangat
sulit karena manfaat dan madarat yang ditimbulakan dari aktifitas merokok akan
berbeda-beda antara perokok yang satu dengan perokok yang lain, sehingga status
hukumnyapun tergantung pada kondisi seorang perokok. Jika si perokok akan
mendapatkan madarat dari aktifitas merokok tersebut, maka hukumnya bisa menjadi
haram, namun sebaliknya jika si perokok tidak terkena mandarat bahkan mungkin
mendapat manfaat dari aktifitas merokok yang dilakukannya, bisa jadi hukumnya
mubah. Bisa juga hukumnya makruh apabila si perokok tidak mendapatkan manfaat
dan madarat yang ditimbulkan dari aktifitas merokok itu, karena hukum makruh
ini dianjurkan untuk ditinggalkan.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah menguraikan metode istinbath hukum MUI
diatas maka dapat disampaikan bahwa MUI adalah salah satu lembaga agama islam
di indonesia yang mempunyai peranan luhur sebagai pengayom bagi umat Islam
Indonesia terutama di dalam memecahkan dan menjawab seluruh persoalan
sosial-keagamaan dan kebangsaan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Jawaban yang diberikan oleh MUI adalah fatwa yang dikeluarkan melalui Komisi
Fatwa MUI secara kolektif, baik di tingkat pusat maupun provinsi dan
kabupaten/kota. Penetapan fatwa MUI didasarkan sumber hukum Islam yaitu
Al-Qur’an, Sunnah (Hadis), Ijma` dan Qiyas.
Adapun pendekatan yang digunakan atau
metodologi yang di gunakan oleh MUI dalam istinbath hukum merujuk pada metode
maslahah mursalah yang sudah di kolaborasikan dengan ilmu modern seperti
sosiologi medis dan yang lain untuk mencapai tujuannya yaitu merealisasikan
kemaslahatan. Seperti kasus diatas bahwa rokok bisa menimbulkan dua pandangan
yaitu makruh dan haram dimana hukum tersebut terletak pada cara merokok yang
dilakukan individu.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qardawi Yusuf, Ijtihad Kontemporer, Kode
Etik Dan Berbagai Penyimpangan, alih bahasa Abu Harzani, cet. 1 Surabaya:
Risalah Gusti, 1995
Asghori Abdul ghofur, Sejarah
Perkembangan Hukum Islam, Yogyakarta: Total Media, 2008
Mubarok Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum
Islam,Yogyakarta: UII press, 2002
‘audah Jaser, Al-Maqasid untuk pemula, Yogyakarta:
Suka press, 2013
Mudzhar Mohammad Atho, Fatwa-Fatwa Majelis
Ulama Indonesia,Jakarta: Inis, 1993
al-Fairuzzabadi Abu Ishaq Ibrahim, Al-Luma,
Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Ibn Nabhan wa Auladuh, Surabaya, tt.
2 Yusuf al-Qardawi, Ijtihad Kontemporer, Kode Etik Dan
Berbagai Penyimpangan, alih bahasa Abu Harzani, cet. 1 (Surabaya: Risalah
Gusti, 1995) Hlm. 14.
[5] Abu Ishaq Ibrahim al-Fairuzzabadi, Al-Luma,
Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Ibn Nabhan wa Auladuh, (Surabaya, tt,) Hlm.69.
No comments:
Post a Comment
bercomentar baik pasti di tanggapi baik pula